Artikel: Ramadhan Bahagia #dirumahaja (By: M. Yeri Hidayat, S.H.)

Oleh: M. Yeri Hidayat (Hakim PA Sanggau)

Sakit bahkan mati adalah dua hal yang umumnya dihindari semua orang. Hal tersebut dikarenakan adanya rasa tidak nyaman pada tubuh. Sebagai contoh tatkala kuku yang terpotong tidak rata dan ketika tumbuh menusuk bagian kulit jari atau istilah sederhananya adalah cantengan, tentu menimbulkan rasa tidak nyaman. Sama halnya dengan kematian dengan segala penyebabnya, tentu pula tidak nyaman, bahkan Ka’bul Akhbar, salah satu tabi’in mengilustrasikannya sebagaimana tercantum dalam kitab Hilyatul Auliya’ bahwa rasa sakaratul maut seperti rasa dicabutnya dahan berduri yang tersangkut di kerongkongan seraya tertancap pada saraf oleh orang yang kekar.

Baru-baru ini dunia digemparkan dengan virus Covid-19 yang banyak menelan korban jiwa, termasuk Indonesia. Dilansir dari Kompas.com tertanggal 21 April 2020 tercatat ada 7.135 kasus; dirawat 5.677; meninggal 616; dan sembuh 842, sehingga  ada trend peningkatan akan kasus tersebut.

Menyikapi hal itu sebagai langkah pencegahan, pemerintah memberikan berbagai himbauan dan juga aturan, seperti hendaknya rajin mencuci tangan; selalu mengenakan masker; pembatasan sosial atau social distancing dan masih banyak yang lainnya. Hal tersebut yang kemudian berdampak kepada rutinitas sosial yang terjadi di Indonesia, bahkan rutinitas  ritual ibadah yang lazim dilakukan di Indonesia, seperti shalat jum’at, shalat berjama’ah, pengajian, bahkan shalat tarawih berjamaah di masjid, shalat idul fitri, mudik lebaran akan ditiadakan.

Tentu hal tersebut menjadi polemik yang kemudian memunculkan gejolak di tengah-tengah masyarakat karena di satu sisi masyarakat ingin mengekspresikan kebahagiaannya akan datangnya bulan suci ramadhan dengan meningkatkan segala bentuk ibadah yang ada karena dikatakan oleh nabi bahwa “barang siapa berbahagia dengan masuknya bulan suci ramadhan, maka Allah haramkan jasadnya atas api neraka”, sedangkan di sisi lain masyarakat harus memenuhi aturan-aturan pemerintah yang melarang untuk membuat perkumpulan dengan cara menghimbau agar selalu tetap di rumah saja.

Apakah hal tersebut mengurangi rasa bahagia ? tentu tidak, karena meski ada pandemic saat ini, bulan ramadhan tetap akan kita lalui, kecuali jika adanya pandemic membuat bulan suci ramadhan hilang ataupun tidak dapat dilalui, tentu kita akan dirundung duka karena tidak bertemu dengan bulan dimana segala pahala dilipat gandakan.

Lantas bagaimana dengan shalat jama’ah tarawih ?; dengan tadarus al-Qur’an di masjid ?; dengan buka bersama; dengan mudik ? tentu bisa dilakukan di rumah dengan keluarga, nabi pun semasa hidupnya tidak pernah tarawih sampai 30 (tiga puluh) hari penuh di masjid, melainkan hanya 8 (delapan) hari di masjid selainnya di rumah; tadarus al-Qur’an pada hakikatnya tidak mengharuskan di masjid, bahkan banyak hadis yang meganjurkan agar membaca membaca al-qur’an di rumah; buka bersama dapat di lakukan di rumah dengan keluarga yang justru menjadi momentum untuk lebih merekatkan hubungan persaudaraan; sedangkan mudik pada dasarnya tidak harus pada momentum lebaran demi kepentingan bersama, pun pemerintah tidak abai akan hal itu, yakni dengan mengalihkan cuti bersama untuk lebaran di akhir tahun.

Maka dari itu, kondisi saat ini hendaknya tidak menyurutkan kebahagiaan kita dengan masuknya bulan suci ramadhan, justru untuk lebih bermuhasabah diri, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu mari kita dukung pemerintah untuk menuntaskan kondisi ini dengan mentaati segala protokoler yang ada karena agama Islam pun memerintahkan untuk mentaati pemerintah, dan jika ragu dengan fatwa-fatwa dari lembaga pemerintah, maka ingatlah mufti-mufti yang ada merupakan ahli di bidangnya dimana kita ketahui bersama jika dihadapkan suatu perkara kepada selain ahlinya, maka tunggulah kehancuran. والله اعلم