Renungan Surah At-Takatsur

KECAMAN KEPADA ORANG YANG MEMBANGGAKAN DIRI

Surah ini mengambil tema celaan kepada orang-orang yang selalu membangga-banggakan harta, kedudukan dan kelompoknya hingga ia meninggal dunia. Sikap ini akan membuatnya jauh dari Allah sehingga membuatnya mati dalam kesesatan.  Dalam sebuah riwayat dijelaskan, pada saat itu ada dua klan dari suku Quraisy, bani Abdi Manaf dan bani Sahm, yang saling membangga-banggkan berbagai kelebihan yang dimiliki kelompoknya. Kebanggaan masing-masing kelompok ini tidak hanya menyangkut kepemilikan pada tokoh-tokoh yang masih hidup, bahkan pemimpin-pemimpin mereka yang telah meninggal dunia juga turut mereka banggakan.

Al-Qur’an mengecam sikap ini dengan ancaman bahwa mereka kelak akan mengetahui akibat dari prilaku tersebut, baik di kehidupan dunia, alam kubur maupun di hari kiamat. Al-Qur’an menyebut sikap membanggakan harta, kelompok dan organisasi tidak akan berguna sama sekali bagi kehidupan manusia karena dapat melalaikannya pada persoalan sebenarnya yang dia hadapi. Secara tidak langsung al-Qur’an mendorong kita untuk tidak terpaku kepada kelebihan dan background yang kita miliki untuk meraih kesuksesan hidup.  Dalam mencapai sebuah tujuan, kita dituntut untuk lebih menonjolkan kemampuan yang dimiliki, bukan karena faktor harta dan latar belakang (organisasi, pendidikan, atau jabatan) yang kita miliki.

Sebagai bukti keseriusan Tuhan mengecam sikap tersebut, dalam surah ini al-Qur’an menggunakan kata “kalla” hingga tiga kali yang berarti bahwa sikap ini harus betul-betul dijauhi manusia karena akan menghalanginya mendapatkan kesuksesan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Secara tidak langsung al-Qur’an menyatakan hendaknya kita jangan pernah cepat puas dengan apa yang telah kita miliki. Kita harus selalu menggali potensi yang dimiliki dan menggunakannya untuk menyemaikannya menjadi kebaikan dan bermanfaat terhadap orang lain.

Harta, jabatan, organisasi, pendidikan mapan bukanlah faktor utama untuk meraih kesuksesan.  Jangan sampai hal tersebut membuat kita lalai sehingga menggagalkan kita untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Seseorang bukan dihormati dan dihargai karena hartanya atau jabatannya, atau bahkan latar organisasi dan pendidikannya, namun karena kontribusi positifnya pada masyarakat.

Dalam skala yang lebih luas, Islam pernah melahirkan para tokoh besar, baik dari kalangan ilmuan, ahli strategi hingga para pemimpin handal. Kita mengenal tokoh-tokoh muslim yang populer dengan aneka penemuannya yang sangat mengagumkan dan meberikan sumbangsih tak ternilai bagi kemajuan peradaban. Al-Khawarizmi, Ibn Sina, ar-Razi, Jabir bin Hayyan, al-Kindi, Ibn Rusyd, merupakan tokoh-tokoh muslim yang diakui kehebatannya karena memiliki karya-karya monumental yang mengilhami lahirnya beragam penemuan lain dalam dunia ilmu pengetahuan.

Al-Khawarizmi (W. 232 H/ 847 M), misalnya merupakan pengarang buku Hisab al-Jabar wa Muqabalah, sebuah buku pelajaran yang berharga berisikan uraian penjelasan tentang persamaan linier dan persamaan kuadrat. Ia dianggap istimewa sebagai orang yang menemukan konsep al-Jabar, karena keberhasilannya memajukan cabang ilmu ini hingga mencapai puncaknya. Jabir bin Hayyan (W. 197 H/813 M), merupakan salah seorang tokoh muslim yang terkenal sebagai bapak kimia modern. Demikian pula dengan Abu Bakar ar-Rozi (W. 311 H./923 M) merupakan ilmuan yang terkenal dengan bapak ilmu kedokteran. Ia mengarang kitab al-Hawi, yang merupakan buku ensiklopedia kedokteran yang meliputi semua ilmu pengetahuan kedokteran Arab, Yunani dan India. Ar-Razi diakui dunia sebagai pionir dalam menemukan solusi yang berkaitan dengan ilmu kedokteran.

Lalu apakah pencapaian para tokoh tersebut membuat kaum muslim bangga secara berlebihan sehingga terbuai dan melupakan kenyataan bahwa saat ini bangsa muslim sangat jauh tertinggal baik dalam pemikiran maupun tekhnologi dengan agama lain ?? Bisa kita saksikan hingga hari detik ini, banyak negeri muslim hancur berderai karena didera konflik berkepanjangan. Suriah, Yaman, Irak, Palestina merupakan contoh-contoh negara yang terkoyak karena konflik sehingga melahirkan jutaan imigran yang terpaksa meninggalkan negaranya untuk menyelamatkan diri ke negara yang lebih aman. Lalu bagaimana kita harus memposisikan diri untuk menghadapi realitas dunia muslim yang memprihatinkan tersebut?

Al-Qur’an sejatinya melalui surah ini menyatakan kita boleh bangga dengan pencapaian yang mengagumkan dari para generasi muslim masa lalu tersebut, namun jangan sampai kebanggan ini hanya sekedar kebanggaan saja. Kita harus menjadikannya sebagai motivasi untuk meraih kesuksesan minimal seperti mereka dan jika mampu lebih baik dari mereka. Kaum muslim harus fokus pada realitas yang terjadi saat ini dan menemukan solusi dari masalah yang sedang dihadapi. Jangan sampai  karena terlena dengan kesuksesan dari para tokoh kita membuat kita terperosok ke dalam jurang kebodohan dan ketertinggalan sehingga membuat kita keluar dari persaingan yang positif dengan para ummat beragama lainnya.

Surah ini diakhiri dengan motivasi agar kita menggunakan nikmat-nikmat yang diberikan Tuhan untuk kebajikan. Setiap diri kita akan dimintai pertanggungjawaban sejauh mana kita memanfaatkan nikmat-nikmat tersebut untuk melahirkan sesuatu yang positif bagi masyarakat. Kesehatan, panca indera yang lengkap, dan kesempatan atau waktu luang merupakan nikmat-nikmat Tuhan yang terkadang kita alpa untuk mensyukurinya. Padahal tidak setiap orang mendapatkan kesempatan menikmati anugerah tersebut. Kita harus menggunakan sebaik-baiknya aneka nikmat tersebut untuk menggali potensi yang kita miliki sehingga kita dapat terus bersaing dalam percaturan umat untuk meraih kesuksesan hidup. Kita harus bersikap terbuka dan kritis dengan perbagai persoalan yang kita hadapi untuk menemukan solusinya sehingga dapat meningkatkan derajat hidup kita, baik kekayaan dunia maupun kekayaan spiritual. Wallahu A’lam.

Sanggau, 17 Mei 2016.